Indonesia memang negeri dongeng. Jutaan orang yang mengecap bangku sekolah di sini disuapi dongeng tentang kekayaan bumi, tanah dan airnya. Mereka jadi percaya bahwa semua kekayaan itu sudah ada; tinggal menunggu seorang pemimpin adil yang bisa membagi-bagi kekayaan itu dan membuat semua orang makmur sejahtera.
Mereka lupa mengajarkan bahwa kekayaan alam atau nonalam seperti apa pun berharganya harus dicari, diolah dan dimanfaatkan dalam kegiatan ekonomi agar ada nilainya. Mereka lupa mengajarkan bahwa tidak mungkin kekayaan bisa dimiliki secara kolektif oleh ‘seluruh’ rakyat, karena siapa pun yang berjasa mencari, mengolah dan memanfaatkan kekayaan tersebut pasti lebih berhak untuk menikmati hasil kerja mereka, dan mereka harus bisa menikmati hasil kerja mereka tanpa khawatir kehilangan hak itu.
Dongeng seperti itu juga yang mendorong serikat buruh seperti tak pernah puas memaksakan tuntutannya. Di pikiran mereka pengusaha punya kekayaan tak terbatas dan selalu bisa membayar upah lebih besar lagi kalau saja dipaksa oleh regulasi. Di pikiran mereka kalau mereka mendapat upah layak, semua orang akan makmur dan sejahtera.
Mereka lupa mengajarkan para pengurus serikat buruh di sekolah bahwa upah sama dengan harga, dan harga selalu tunduk pada hukum permintaan dan penawaran. Mereka lupa mengajarkan (atau sengaja melupakan) bahwa upah minimum sama dengan price floor, dan konsekuensi dari price floor yang lebih tinggi daripada harga ekuilibrium adalah adanya surplus pasokan pekerja. Dengan kata lain, memaksa upah minimum naik sama saja dengan melarang orang yang produktivitas marjinalnya di bawah tingkat upah minimum itu bekerja. Dengan kata lain lagi, memaksa upah minimum naik sama dengan memaksa orang menganggur.
Makin parah lagi, dunia dongeng yang diinginkan serikat buruh itu seolah dapat justifikasi dari pemimpin lembaga yang sedang naik pamornya. Di acara serikat buruh hari ini, ketua KPK bilang seperti ini.
Ketua KPK Abraham Samad mengatakan salah satu penyebab kemiskinan adalah korupsi. Menurut perhitungannya, jika tidak ada korupsi, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia mencapai puluhan juta rupiah per bulan.
Dari sektor migas saja, menurutnya hampir 50% perusahan tambang di Indonesia itu tidak membayar royalti ke pemerintah. Angka tersebut jika dirupiahkan mencapai Rp 20 ribu triliun.
“Coba dibagi dengan 241 juta jiwa. Maka kita akan menemukan angka pendapatan terendah adalah Rp 30 juta per bulan,” kata Abraham Samad dalam dialog kebangsaan di depan puluhan ribu buruh di Istora, Senayan, Jakarta, Senin (21/10/2013).
Pertama, yang dimaksud “pendapatan per kapita masyarakat Indonesia” oleh beliau itu sepertinya “produk domestik bruto per kapita ekonomi Indonesia”.
Menurut BPS, PDB total Indonesia secara nominal harga tahun 2012 adalah sekitar Rp8 ribu triliun, atau per kapitanya Rp33.3 juta per tahun. Itu sekitar Rp2,7 juta per bulan. Menurut beliau, seharusnya PDB per kapita Indonesia itu Rp30 juta per bulan, atau Rp360 juta per tahun. Sedikit koreksi pak, kalau dikalikan 241 juta populasi Indonesia, itu PDB totalnya bukan Rp20 ribu triliun, tapi sekitar 87 ribu triliun! Wah ke mana hilangnya yang Rp79 ribu triliun?
Nah, itu. Menurut beliau itu karena hampir 50% perusahaan tambang di Indonesia tidak membayar royalti ke pemerintah. Waduh, kenapa bisa begitu? Beliau lanjut begini.
Ironisnya menurut Samad, para pengusaha itu bukan tanpa alasan tidak membayar royalti ke pemerintah. Mereka justru menghabiskan uangnya lebih banyak untuk menyuap oknum aparat.
Pusing saya. Jadi menurut beliau nilai ekonomi yang jauh lebih besar daripada nilai produksi seluruh ekonomi Indonesia itu bisa hilang begitu saja karena dipakai untuk membayar aparat dan pejabat korup.
Hore! Logika hebat!
Begini. Royalti itu, kalau pun tidak dibayarkan ke pemerintah, tidak lenyap begitu saja, apalagi nilainya sedahsyat itu. Kalau pun uang itu dibayarkan ke aparat dan pejabat korup, pertama, kegiatan ekonomi yang menyebabkan ada royalti yang harus dibayar itu tetap akan menghasilkan nilai ekonomi. Kedua, aparat atau pejabat korup itu pun akan melakukan kegiatan ekonomi dengan uang haram yang didapat. Apa iya mereka semua kompak menyimpan berbundel-bundel uang kertas di rumah masing-masing sehingga sama sekali tidak ada jejak ekonominya? Menyimpan uangnya di bank pun akan tercatat sebagai kegiatan ekonomi, pak, apa lagi ‘mencuci uang’ dengan membeli aset. Uang yang masuk ke bank juga akan menghasilkan laba bagi bank atau dipinjamkan ke pihak lain sehingga menghasilkan laba juga bagi pihak lain. Uang yang dipakai membeli aset menghasilkan laba bagi penjual aset, menciptakan lapangan kerja juga.
Jadi nggak mungkin hilang tanpa jejak ekonominya sama sekali.
Yang paling parah menurut saya adalah pandangan bahwa pendapatan, dus kesejahteraan masyarakat, yang terdiri dari individu-individu dengan pribadi, minat, keahlian berbeda-beda, semuanya ditentukan oleh negara atau pemerintah belaka.
Kalau begini, kata serikat buruh, untuk apa mereka menuntut upah minimum naik jadi Rp4 atau 5 juta saja? Batasnya langit!