A Perfect Universe

March 6th, 2019 § 0 comments § permalink

I read about the gilets jaunes in France who have been in the news for a few months now. It seems that the protests and the government’s response to them have become more violent lately.

Is the world really becoming more violent? Or has violence always been an inseparable part of human existence, and we’re just hearing more of it due to the fact that information from all corners of the world is now accessible from the tap or swipe of your fingers?

I’m thinking that both could be true. Disagreement is a logical consequence of the diversity of the human condition. It will always be with us.

But as technology allows us to be more connected to each other, it also exposes us to the different ways that people do and think about things. There lies the increased potential for disagreement and conflict.

So, since technology always advances and diversity is part and parcel of our worldly existence, does this mean that violence will always continue to escalate until humanity destroys itself?

I’d like to think that’s not the case.

An important part of the equation is the human ability to empathize. Humanity has evolved this powerful trait to help the survival of our species. The homo species thrives because we are able to cooperate and have the capacity to coordinate our cooperation. You can’t cooperate when there aren’t anyone else you can cooperate with. As a result, ensuring the survival of others is in fact ensuring your own survival. In other words, humanity needs empathy to survive.

This is the thinking that underlies my new release, “A Perfect Universe,” a contemplative pop/jazz tune with a hopeful message. The song has a few parts with different moods to reflect changes from a somber, more serious tone, to an upbeat, more optimistic atmosphere.

And that is my hope for humanity. Things may seem bleak and gloomy when one follows the news around the globe. But there is always reason to feel hopeful and optimistic.

Please go ahead and enjoy this release through the below. As always, you can also buy a digital copy on Bandcamp.


Welcome 2019

December 31st, 2018 § 0 comments § permalink

It’s that time of the year again, where we celebrate the passing of the year itself as it is replaced with another. It really is trivial, but we human beings are masters at finding meanings in meaningless things.

It may be argued that meanings exist only because we ascribe them to things that are related to us. You, readers, dwindling as your numbers may be, are meaningful to me, for example.

And as you are indeed meaningful to me, I want all the best things to happen to you. I hope we’ll take all the lessons and experiences of the passing year to heart, and let’s make 2019 the best year ever.

Happy New Year!

Kenapa yang dilarang tidak hilang?

May 1st, 2015 § 0 comments § permalink

war-on-drugs

A: Sukurin tuh ada lagi orang osi yang ketangkep bawa obat! Ribut melulu sih!
B: Kesian.
A: Biarin aja. Nyebelin.
B: Gue sih gak tega.
A: Emang kenapa sih? Pengedar aja dibelain?
B: Gue gak setuju pemerintah dibolehin membunuh orang.
A: Tapi kan di sini peraturannya emang gitu?
B: Gini aja sih, elu pernah berurusan sama hukum nggak?
A: Pernah, emang kenapa?
B: Menurutlo elo diperlakukan secara adil ketika berurusan sama hukum?
A: Hmmm, ya nggak jelas juga sih.
B: Elo pernah denger gak orang kemalingan ayam kalo dibawa ke polisi jadi kehilangan kambing?
A: Iya juga sih, tapi itu kan oknum.
B: Ya sekali dua kali sih oknum, tapi kalo begitu sering terjadinya sampai ada anggapan umum seperti itu masak masih nyalahin oknum?
A: Ya mungkin sistem hukum kita memang belom sempurna sih…
B: Nah elo yakin sistem hukum yang ‘belom sempurna’ itu, yang bisa bikin orang kehilangan ayam jadi kehilangan kambing, yang bisa membuat pejabat berekening gendut gak jelas sumbernya bebas melenggang tanpa konsekuensi, menurutlo sistem seperti itu bisa dipercaya menentukan hidup-matinya seseorang?
A: Tapi kan emang peraturannya begitu?
B: Iya ya? Tapi kan grasi juga salah satu bagian dari peraturan yang berlaku di sini. Apa pun kata pengadilan, sebetulnya harusnya selalu masih ada ruang untuk memberikan pengampunan. Biasanya sistem hukum masih menyisakan ruang bagi empati dan kemanusiaan, karena sebagus apa pun suatu sistem hukum, dia tetap aja buatan manusia dan dijalankan oleh manusia, semuanya bisa melakukan kesalahan. Misalnya di sistem Common Law, untuk kasus kejahatan serius biasanya melibatkan orang biasa yang ditunjuk untuk menjadi juri. Di sistem hukum di sini, ruang bagi empati dan rasa kemanusiaan itu antara lain diberikan lewat grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Memang peraturan yang ada mengancam hukuman mati untuk kasus terkait narkoba, tapi bukan berarti yang terkait kasus narkoba harus selalu dijatuhi hukuman mati.
A: Ya yang berhak ngasih grasi kan presiden, dan dia udah berjanji nggak akan ngasih grasi untuk kasus narkoba.
B: Nah itu juga perlu dikritik sebetulnya.
A: Kenapa?
B: Itu menurut gue dia sama saja nggak mau melakukan tanggung jawabnya untuk jadi pengimbang kekuasaan kehakiman. Artinya dia nggak mau melihat secara kasus per kasus apakah ada unsur lain yang sebetulnya bisa dijadikan pertimbangan untuk meringankan hukuman yang diberikan kepada seorang terpidana. Padahal, grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi juga adalah bagian dari sistem hukum di sini. Bisa dibilang bagian penting malah.
A: Dia kan merasa narkoba adalah masalah darurat bagi bangsa. Jadi harus dihukum seberat-beratnya.
B: Itu juga yang bikin sebagian orang geregetan sih.
A: Kenapa?
B: Di berbagai tempat di dunia, orang mulai menyadari bahwa melarang narkoba justru merugikan, bukan membantu menyelesaikan masalah narkoba, dan mulai mencermati apakah sebetulnya masalah yang selama ini dianggap merupakan akibat penggunaan narkoba sebetulnya justru merupakan ekses dari pelarangan narkoba.
A: Wah, ngaco banget tuh. Maksudnya gimana?
B: Ya misalnya yang menurutlo masalah karena penggunaan narkoba itu apa?
A: Ya drugs itu kan adiktif banget. Bahaya bagi siapa pun yang mengonsumsinya.
B: Emang betul, zat-zat yang termasuk psikotropika atau mind-altering drugs itu cenderung adiktif, tapi kecanduan itu sebetulnya masalah kriminal atau masalah kesehatan? Selain itu banyak juga lho zat-zat yang bisa dikonsumsi secara legal juga tak kalah mencandunya. Rokok, misalnya. Elu ngerokok kan?
A: Iya.
B: Bagaimana kalo rokok dilarang?
A: Berarti gua harus berhenti ngerokok.
B: Nah elo mungkin bisa begitu, tapi sebagian orang yang lain, mungkin yang sudah sangat kecanduan, mungkin akan mencari sumber lain yang tidak legal kalo rokok dilarang. Artinya melarang sesuatu bukan berarti sesuatu itu akan lenyap begitu saja dari muka bumi. Inget kan hukum supply and demand? Kalo sesuatu itu dilarang, supply-nya kan jadi berkurang, padahal biasanya akan tetap ada demand-nya. Karena itu, harganya jadi tinggi dan karena harga yang tinggi itu, pasti tetap ada yang akan tertarik untuk ‘gambling’ dan mencoba jadi pemasok barang itu, karena potensi untungnya gede banget. Padahal kalau sesuatu itu tidak legal, jadi sulit kan memastikan produk itu aman dan produsennya bertanggung jawab?
A: Iya lah, mereka dianggap penjahat kan berarti?
B: Betul, dan menurut “iron law of prohibition” semakin keras suatu zat dilarang, semakin tinggi potency zat tersebut di pasar gelap. Itu juga udah pernah diteliti oleh Mark Thornton dari Cato Institute (http://www.cato.org/pubs/pas/pa-157.html). Dan memang benar, semakin besar dana penegakan hukum narkoba di AS, semakin tinggi tingkat potency marijuana yang beredar di sana. Jadi mungkin bisa dibilang juga masalah kecanduan obat itu salah satu penyebabnya adalah justru karena obat itu dilarang.
A: Jadi menurutlo orang harusnya bebas aja jual beli narkoba?
B: Menurut gue masalah narkoba jangan lagi dilihat sebagai masalah kriminal, tapi ditangani dengan pendekatan kesehatan masyarakat. Gue juga nggak pake narkoba dan nggak mau anak dan keluarga gue pake narkoba, tapi menurut gue melarang narkoba sebagai perkara kriminal itu seperti menyembunyikan masalah itu di balik karpet dan menganggapnya seolah-olah nggak ada.
A: Tapi kan gambling banget tuh kalo misalnya narkoba dibolehin, terus masalahnya jadi tambah parah gimana?
B: Udah ada beberapa tempat yang mendekriminalisasi kepemilikan narkoba sih. Yang sering dijadikan contoh Portugal, misalnya. Di situ, mereka ngeluarin UU baru tahun 2001 yang menghilangkan hukuman pidana atas kepemilikan narkoba bagi penggunaan pribadi. Hasilnya menurutlo apa?
A: Tambah banyak dong yang ngobat di sana?
B: Justru sebaliknya, tingkat penggunaan narkoba di sana malah turun secara bertahap. Di kalangan remaja kelas 7-10, misalnya, turun dari 14,1% jadi 10,6%. Begitu juga di kalangan siswa SMA. Yang mengesankan, berbagai konsekuensi negatif penggunaan narkoba paling drastis turunnya. Misalnya, infeksi HIV di kalangan pengguna turun dari 1.400 kasus di tahun 2000 jadi tinggal 400 kasus di tahun 2006. Jumlah kematian karena overdosis turun hampir setengahnya. Coba deh elo baca sendiri laporannya di sini: http://object.cato.org/sites/cato.org/files/pubs/pdf/greenwald_whitepaper.pdf
A: Terus berarti kalo banyak yang mulai mencoba dekriminalisasi gitu, kenapa di sini belom kedengeran apa-apa ya?
B: Ya nggak tau juga. Bisa jadi karena selalu ada kelompok yang berkepentingan dengan adanya perang terhadap narkoba ini.
A: Kepentingannya gimana?
B: Misalnya badan atau organisasi yang diserahi tanggung jawab memerangi narkoba. Semakin masyarakat merasa ‘terancam’ oleh masalah narkoba, semakin besar tekanan untuk memeranginya, dan semakin banyak dana yang dialokasikan untuk kepentingan itu. Menurutlo kira-kira siapa yang dapat dananya?
A: Mereka pastinya.
B: Betul, dan banyak juga orang-orang yang berpengaruh, pejabat pemerintah, petinggi militer, dll, yang ada di situ. Dan jangan lupa, bandar dan pengedar narkoba juga diuntungkan oleh status narkoba yang ilegal. Kalau bisnis narkoba dilegalkan dan dilakukan secara terbuka, semakin banyak pihak yang akan memasuki bisnis tersebut sehingga kompetisinya semakin banyak dan harganya akan turun. Artinya mereka tidak lagi bisa menikmati laba berlipat-lipat seperti sekarang ini.

Rokok elektronik: Anugerah atau bencana?

November 27th, 2014 § 0 comments § permalink

vaping

Isu rokok memang seolah tidak pernah selesai dibahas. Di satu sisi, kebiasaan merokok sudah sangat mendarah daging bagi banyak orang sehingga mereka sangat sulit berhenti merokok walaupun kampanye antirokok semakin gencar dilakukan. Di sisi lain, risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok memang cukup nyata dan perlu mendapat perhatian serius.

Oleh karena itu, wajar bila banyak kalangan, terutama perokok, menyambut gembira hadirnya perangkat temuan ahli farmasi asal Tiongkok, Hon Lik, yang mematenkan rokok elektronik atau e-cigarette pada tahun 2003. Tidak seperti rokok biasa, perangkat ini memadukan elemen pemanas dengan cartridge atau wadah berisi cairan (bisa mengandung nikotin, bisa tidak) yang diatomisasi menjadi uap yang kemudian diisap oleh penggunanya.

Mekanisme ini terkesan terinspirasi oleh shisha, di mana cairan yang disiapkan dari rendaman daun tembakau, molase dan gliserin dipanaskan menjadi uap. Tapi berbeda dari shisha, perangkat e-cigarette­ ringkas dan mudah dibawa-bawa, sehingga praktis dan mudah dinikmati oleh penggunanya seperti rokok biasa. Ditambah dengan kemampuan e-cigarette untuk memberikan pengalaman yang mirip dengan merokok, tak aneh bila produk ini mendapat sambutan yang sangat baik dari konsumen.

Tentu ini menjadi kabar gembira juga bagi para pegiat kesehatan. Betapa tidak, kini para perokok mendapatkan produk alternatif yang memberikan kepuasan yang hampir sama, tapi dengan risiko kesehatan yang jauh lebih kecil daripada rokok biasa. Akhirnya para perokok tidak perlu lagi dipaksa untuk berhenti merokok menggunakan alat-alat bantu seperti terapi penggantian nikotin, karena banyak dari mereka yang dengan kemauan sendiri beralih menggunakan produk yang lebih aman tersebut.

Tetapi nyatanya tidak sesederhana itu. Sebagian pegiat kesehatan dan regulator justru menentang produk baru tersebut dengan berbagai alasan. Sementara itu, sebagian pihak lain sangat mendukung penggunaan e-cigarette sebagai produk alternatif yang mendukung tujuan pengurangan bahaya (harm reduction) dari penggunaan tembakau.

Contohnya, belum lama ini sejumlah media di Indonesia mengangkat isu penggunaan e-cigarette, dengan mengutip pendapat sejumlah kalangan, dari pihak pemerintahan hingga ahli kesehatan. Cukup disayangkan bahwa dari sejumlah pemberitaan tersebut sepertinya tidak ada yang menyampaikan pendapat dari pihak pendukung e-cigarette ataupun dari para pengguna produk ini (yang kini sering disebut “vaper“). Dan yang lebih disayangkan lagi, banyak dari pendapat yang terungkap dalam pemberitaan tersebut sebenarnya bukanlah merupakan isu baru dan lebih merupakan mitos daripada fakta.

Di sini penulis akan mencoba membahas beberapa isu tersebut. Sebagai informasi, penulis tidak memiliki kepentingan finansial dari produk e-cigarette atau produk-produk pelengkapnya. Penulis hanyalah salah satu dari sekian banyak vaper yang telah secara drastis mengurangi ketergantungan terhadap rokok berkat hadirnya e-cigarette, merasakan sendiri pernafasannya menjadi kembali lega karenanya, dan selama ini mencoba mencari informasi secara mandiri mengenai produk ini dan berupaya menelaahnya secara kritis.

Mitos no. 1: Tidak ada bukti bahwa e-cigarette mampu membuat orang berhenti mengonsumsi rokok.

Fakta yang ada justru berbicara sebaliknya. Dari sisi bisnis, pasar e-cigarette menunjukkan perkembangan yang sangat pesat, bahkan tumbuh hingga dua kali lipat selama beberapa tahun belakangan, ketika pasar rokok konvensional secara umum menunjukkan penurunan, terutama di negara-negara maju.[1] Ini secara sepintas menunjukkan beralihnya para perokok dari rokok konvensional ke e-cigarette.

Dalam studi yang dipublikasikan bulan Oktober lalu oleh periset dari University of Massachussets ditemukan bahwa pengguna intensif e-cigarette (didefinisikan sebagai seseorang yang menggunakan e-cigarette setiap hari) 6 kali lipat lebih mungkin untuk berhenti merokok dibandingkan perokok yang tidak menggunakannya.[2]

Yang lebih mengesankan lagi, dalam uji klinis pertama atas e-cigarette di Italia yang dipublikasikan tahun lalu, 300 orang perokok yang tidak sedang berusaha berhenti merokok diberikan 3 jenis e-cigarette dengan kadar nikotin dan lama pemberian yang berbeda. Hasilnya, dari kelompok yang mendapatkan kadar nikotin terbesar (7,2 mg) dan pemberian yang paling lama (12 minggu), 13% berhenti merokok selama satu tahun. Dan dari ketiga kelompok tersebut, rata-rata 7,8 persen berhenti merokok. Tidak hanya itu, 70% dari mereka yang berhenti merokok juga berhenti menggunakan e-cigarette![3]

Bayangkan, ke-300 orang ini sama sekali tidak berniat ataupun berusaha berhenti merokok, namun cukup dengan menggunakan e-cigarette, sebagian dari mereka mampu berhenti merokok dan bahkan berhenti mengonsumsi nikotin sama sekali!

Mitos no. 2: E-cigarette ‘melatih’ orang yang belum pernah merokok untuk nantinya menjadi pengguna rokok konvensional.

Dilihat dari asal-usulnya, e-cigarette justru dilahirkan sebagai alat bagi penemunya untuk menggantikan kebiasaan merokoknya dengan menggunakan produk yang lebih aman. Dan memang benar, Hon Lik terinspirasi untuk merancang perangkat tersebut setelah menyaksikan sendiri kematian ayahnya akibat kanker paru-paru. Kurang masuk akal kalau alat temuannya tersebut dirancang justru untuk membuat orang yang tidak merokok menjadi perokok.

Selain itu, menurut data Centers for Disease Control and Prevention (pusat pengendalian penyakit AS), tingkat merokok di kalangan remaja AS turun hingga ke titik terendah (15,7%) pada tahun 2013.[4] Menariknya, menurut CDC sendiri, tingkat penggunaan e-cigarette di kalangan remaja meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2011-2012.[5] Bila benar e-cigarette ‘melatih’ orang yang belum pernah merokok menjadi pengguna rokok konvensional, tentu seharusnya peningkatan penggunaan e-cigarette di kalangan remaja tersebut juga akan menghasilkan peningkatan jumlah remaja yang mengonsumsi rokok konvensional. Tapi nyatanya justru hal sebaliknya yang terjadi. Perlu dicatat bahwa fenomena yang sama juga terjadi di Inggris.[6]

Dalam studi yang dilakukan oleh periset dari University of Oklahoma Health Sciences Center, AS, 1.300 orang mahasiswa yang rata-rata berusia 19 tahun diteliti mengenai pola konsumsi tembakau dan penggunaan e-cigarette mereka. Hasilnya, 43 orang mengaku bahwa produk nikotin pertama mereka adalah e-cigarette. Dari 43 orang tersebut, hanya satu orang yang mengaku berlanjut mengonsumsi rokok konvensional, dan sebagian besar di antara mereka pada saat riset sudah tidak lagi mengonsumsi nikotin.[7] Menurut periset Theodore Wagener, kebanyakan remaja dan orang dewasa yang menggunakan e-cigarette adalah mereka yang berupaya berhenti merokok atau setidaknya mengurangi risiko bahaya merokok. Menurutnya juga, ia tidak menemukan bukti bahwa e-cigarette merupakan pintu gerbang bagi penggunaan rokok konvensional di kemudian hari.

Mitos no. 3: E-cigarette lebih berbahaya dibandingkan rokok konvensional.

Mengingat e-cigarette merupakan produk relatif baru, memang tingkat keamanannya secara mutlak masih belum dapat diketahui bila digunakan secara rutin dalam jangka panjang. Akan tetapi sejauh yang diketahui berdasarkan sains dan bukti yang ada, sejatinya sudah cukup jelas bahwa e-cigarette jauh lebih aman daripada rokok konvensional.

Menurut salah satu pionir studi perilaku merokok Profesor Michael Russell, “Orang merokok untuk mendapatkan nikotin, tetapi mati karena tar.”[8] Seperti diketahui, tar merupakan zat yang dihasilkan oleh proses pembakaran rokok, dan tidak akan ada tanpa proses pembakaran tersebut. Demikian pula, menurut Royal College of Physicians, “…nikotin sendiri bukanlah suatu zat yang sangat berbahaya … bila nikotin dapat diberikan dengan cara yang dapat diterima dan efektif sebagai pengganti rokok, jutaan jiwa dapat terselamatkan.”[9] Dalam dokumen yang sama, disebutkan bahwa, “Nikotin dari rokok dibawa oleh asap yang juga mengandung ribuan zat kimia lain, termasuk karsinogen dan bahan beracun. Beberapa dari bahan tersebut sudah ada pada daun tembakau sebelum dibakar, namun sebagian besarnya adalah hasil dari proses pembakaran.”

Artinya, sebagian besar risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh kebiasaan merokok, baik bagi perokok maupun orang di sekitar mereka, disebabkan oleh proses untuk mendapatkan nikotin dengan membakar daun tembakau kering (beserta bahan-bahan lainnya yang dibakar, termasuk kertas dan lem) pada rokok.

Nikotin sendiri bukanlah zat yang sangat berbahaya bila dikonsumsi dalam jumlah yang tidak sangat berlebihan. Nikotin merupakan zat yang terdapat secara alami tidak hanya pada tembakau, namun juga pada sejumlah tanaman lain yang biasa dikonsumsi manusia, seperti tomat, kentang, terung, teh, paprika dan kubis. Dengan kata lain, nikotin hanyalah senyawa alkaloid biasa seperti halnya kafein, misalnya. Bila dikonsumsi tanpa zat-zat lain yang terkandung dalam asap rokok, nikotin bahkan diindikasikan dapat membantu mengurangi risiko atau mengobati sejumlah penyakit yang berhubungan dengan fungsi kognisi dan otak, seperti Parkinson, ADHD, skizofrenia, sindrom Tourette, dan Alzheimer.[10]

Untuk e-cigarette sendiri, selain dari fakta bahwa tidak ada proses pembakaran dalam penggunaannya, sejumlah studi telah menunjukkan bahwa produk tersebut memang benar lebih aman daripada rokok konvensional. Contohnya, periset di Italia dan Yunani tahun lalu mempublikasikan studi yang menemukan bahwa uap yang dihasilkan oleh 21 jenis cairan e-cigarette memiliki sitotoksisitas (daya merusak sel) yang jauh lebih kecil dibandingkan asap rokok.[11]

Dalam studi lain yang dipublikasikan tahun 2013 di jurnal Tobacco Control, para peneliti menemukan bahwa konstituen kimiawi pada uap yang dihasilkan oleh 12 merek e-cigarette mengandung jumlah zat berbahaya yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh produk inhalasi nikotin (alat bantu berhenti merokok yang sudah disetujui penggunaannya, termasuk oleh lembaga pengawas obat AS, FDA), tapi 9 hingga 450 kali lebih sedikit dibandingkan rokok konvensional.[12]

Bagaimana dengan dampak uap e-cigarette terhadap orang di sekitar penggunanya? Dalam studi yang dipublikasikan jurnal Inhalation Toxicology bulan Oktober 2012,[13] para peneliti mengumpulkan emisi yang dihasilkan oleh sejumlah e-cigarette untuk mempelajari konsentrasi dari emisi kandungan tembakau yang dihasilkan dan membandingkannya dengan emisi asap rokok. Para peneliti menemukan bahwa uap e-cigarette hampir sama sekali tidak mengandung zat kimia yang terdapat dalam asap rokok. Mereka juga menyimpulkan bahwa tidak ada risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh emisi e-cigarette.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari fakta-fakta ini adalah e-cigarette jelas merupakan terobosan yang sangat berharga bagi siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap masalah kesehatan yang disebabkan oleh kebiasaan merokok. Menurut bukti yang sudah ada, harus disimpulkan bahwa produk ini berisiko jauh lebih kecil dibandingkan rokok konvensional, baik bagi penggunanya maupun bagi orang lain.

Memang sejauh yang kita ketahui, e-cigarette belum bisa dibilang 100 persen aman. Namun dengan logika yang sama, kopi, yang mengandung alkaloid berupa kafein yang juga merupakan neurotoksin seperti halnya nikotin, juga bukan produk yang 100 persen aman. Bahkan, air, yang merupakan sumber kehidupan pun bila dikonsumsi terlalu banyak bisa menyebabkan hiponatremia, yang dapat berakibat fatal. Seperti dinyatakan ilmuwan Renaisans Swiss, Paracelsus, sekitar lima abad lalu, yang membedakan apakah suatu zat beracun atau tidak hanyalah dosisnya.

Yang perlu diingat oleh siapa pun yang peduli terhadap risiko kesehatan merokok, nyawa jutaan perokok dapat diselamatkan dari risiko terkena penyakit terkait merokok dan kematian dini, cukup dengan mendorong mereka mengonsumsi produk yang terbukti dapat diterima dengan baik oleh banyak dari perokok, tanpa perlu merampas hak dan kebebasan mereka. Sebaliknya, menghambat atau bahkan melarang penggunaan e-cigarette sama saja dengan memaksa banyak orang yang telah beralih ke produk yang berisiko lebih kecil ini untuk kembali mengonsumsi rokok yang nyata-nyata lebih berbahaya.

 


[1] Robehmed N. E-cigarette Sales Surpass $1 Billion As Big Tobacco Moves In. Forbes. 17-9-2013. http://www.forbes.com/sites/natalierobehmed/2013/09/17/e-cigarette-sales-surpass-1-billion-as-big-tobacco-moves-in/

[2] Biener, L. and Hargraves, J. L. A longitudinal study of electronic cigarette use in a population-based sample of adult smokers: association with smoking cessation and motivation to quit. Nicotine & Tobacco Research . 9-10-2014. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25301815

[3] Caponnetto P, et al. Efficiency and safety of an electronic cigarette as tobacco cigarettes substitute: A prospective 12-month randomized control design study. PLos One. 24-6-2013. http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.0066317

[4] Centers for Disease Control and Prevention. 2013 Youth Risk Behavior Survey. http://www.cdc.gov/mmwr/pdf/ss/ss6304.pdf

[5] Centers for Disease Control and Prevention. E-cigarette use more than doubles among U.S. middle and high school students from 2011-2012. Situs web Centers for Disease Control and Prevention. http://www.cdc.gov/media/releases/2013/p0905-ecigarette-use.html

[6] Action on Smoking and Health UK. Smoking Rates Among Children in England Fall to Record Low. Situs web Action on Smoking and Health UK. 24-7-2014. http://www.ash.org.uk/media-room/press-releases/:smoking-rates-among-children-in-england-fall-to-record-low

[7] Goodman B. E-Cigarettes May Not Be Gateway to Smoking: Study. Situs web WebMD. 29-10-2013. http://www.webmd.com/smoking-cessation/news/20131029/e-cigarettes-may-not-be-gateway-to-smoking-study

[8] Russell M. Low-tar medium-nicotine cigarettes: a new approach to safer smoking. British Medical Journal 1976. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1640397/

[9] Tobacco Advisory Group of the Royal College of Physicians. Harm reduction in nicotine addiction: Helping people who can’t quit. Royal College of Physicians. October 2007. http://www.tobaccoprogram.org/pdf/4fc74817-64c5-4105-951e-38239b09c5db.pdf

[10] Hurley D. Will a Nicotine Patch Make You Smarter? [Excerpt]. Scientific American. 9-2-2014. http://www.scientificamerican.com/article/will-a-nicotine-patch-make-you-smarter-excerpt/

[11] Farsalinos KE, et al. Cytotoxicity evaluation of electronic cigarette vapor extract on cultured mammalian fibroblasts (ClearStream-LIFE): comparison with tobacco cigarette smoke extract. Inhalation Toxicology 2013; 25(6). http://informahealthcare.com/doi/abs/10.3109/08958378.2013.793439

[12] Goniewicz ML, et al. Levels of selected carcinogens and toxicants in vapour from electronic cigarettes. Tobacco Control. 6-3-2013. http://tobaccocontrol.bmj.com/content/early/2013/03/05/tobaccocontrol-2012-050859.abstract

[13] McAuley TR, Hopke PK, Zhao J, Babaian S. Comparison of the effects of e-cigarette vapor and cigarette smoke on indoor air quality. Inhalation Toxicology 2012; 24(12). http://informahealthcare.com/doi/abs/10.3109/08958378.2012.724728

When something is free, nobody is responsible

December 14th, 2013 § 0 comments § permalink

This was an online polling at tempo.co:

Tempopoll

The poll asks whether ‘Bintaro II’ tragedy has managed to deter people from ignoring railroad crossing barriers. Bintaro II tragedy of course refers to the recent collision between a commuter train and a fuel truck, killing a number of people as a result. Earlier in 1987, another accident took place around the Bintaro area where two commuter trains collided head on, killing 156.

A natural tendency after a disaster is to blame it on someone. In the recent accident, the popular verdict is to rest the blame on the driver of the fuel truck, which is also implied in the Tempo poll. I’ve also had Facebook friends posting comments to admonish people who don’t wear helmet, jaywalkers and other kinds of traffic miscreants recently.

Of course, it was wrong for the truck driver to ignore the warning signs and the barrier, knowing full well of the risk involved. But a more important point that is missing from the discourse is who the ultimate blame should be with.

Imagine what would happen when someone at a Coca Cola bottling plant inadvertently spilled a toxic substance into the bottles, killing Coca Cola customers as a result. What would predictably happen is calls for boycott against Coca Cola, government investigation, or even criminal charge against the company.

This would be totally acceptable, because it is the company managers’ responsibility to ensure that their operations are safe and guarded against any risk.

Now why hasn’t this happened with the Bintaro accident, or most other public transit accidents for that matter? First of all, many people might not realize that just because something is ‘public’ doesn’t mean nobody is responsible for it. Public transit is an economic good, because it is scarce and there is demand for it. Just because it is socialized and provided by the government (rail transport is also managed by a government owned company here), doesn’t make it less of an economic good.

What happens to an economic good in a free market is that it is subjected to constant improvement due to competitive forces. Take that free market away by imposing a government monopoly, and you lose the competitive factor and therefore improvement.

In the Bintaro accident, you have a provider of rail transport failing from making sure that the path of their trains is cleared, and you have a provider of roads failing to ensure that drivers cannot cross railroad crossing when trains pass.

Why aren’t people clamoring for a boycott against these providers?

Dysfunctional society breeds idiots

November 22nd, 2013 § 0 comments § permalink

Says Time:

Deteriorating diplomatic ties have turned to anger in Indonesia as Australia refuses to apologize over claims it tapped the phones of Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono, his wife and other senior politicians.

“CrushAustralia” (#ganyangaustralia) was a trending term on Twitter on Wednesday as Yudhoyono held an emergency meeting with his foreign minister and Indonesia’s ambassador to Australia, who was recalled from the country on Monday.

“Rather than cracking down on street thugs, better have them trained to be reserve troops and send them to #CrushAustralia,” read one tweet.

How does one go from allegations of phone tapping to a call to arms? If the father of your next door neighbor were to be caught eavesdropping on your family’s father’s conversation, would the proper response be to cut off all ties and communication with the next door neighbor’s entire family or to fight it out with them? Wouldn’t the ‘grown up’ response be just to have both fathers talk to each other and sort out their problems without the involvement of any of their family members?

The Indonesian society indeed has never been known for rationality. In fact, ‘amok’ as in ‘to run amok’ was loaned from the Malay-Indonesian word with the same meaning. But really, this society is becoming dysfunctional. Just a few days ago, I was at a restaurant that was hosting a birthday party for some children when I overheard a youngish mom who was telling her husband how great it was that their daughter used a pejorative and yelled at another child for touching her balloon.

That piece of property across the world seems even more alluring.

Siapa yang apa?

October 27th, 2013 § 0 comments § permalink

 fascism

Berita ini baru saja muncul:

Pertemuan Eks Tapol 65 Dibubarkan Paksa

Acara temu keluarga eks tahanan politik (tapol) G 30 S/PKI 1965 di Padepokan Santi Dharma Sleman, Minggu (27/10) berakhir ricuh. Kelompok ormas mengatasnamakan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) membubarkan paksa kegiatan.

Tiga orang peserta menjadi korban penganiayaan yakni Sukrisdiono (45) warga Purwokerto, Ardi Nugroho (23) warga Cilacap, dan Bayu Cahyadi warga Banyumas. Ketiganya mengalami luka lebam di bagian wajah.

Dari keterangan yang dihimpun di lokasi, kejadian berlangsung sekitar pukul 11.00. Saat itu, terlihat dua mobil dan belasan sepeda motor masuk ke halaman padepokan yang beralamat di Dusun Bendungan, Desa Sidoagung, Kecamatan Godean, Sleman.

"Puluhan orang tiba-tiba datang. Mereka pakai baju hitam bertuliskan FAKI," ungkap Koster Kapel Santi Dharma, Madya Saputra.

Sebagian dari anggota kelompok itu masuk ke dalam padepokan, sedang lainnya berada diluar. Setiba di dalam, mereka memaksa agar acara dibubarkan.

"Saya tidak berani mendekat, cuma melihat dari jauh. Tapi saya lihat satu orang dianiaya di halaman," katanya.

Sewaktu kejadian, di sekitar padepokan terlihat beberapa anggota polisi. Satu unit mobil ambulans juga sudah disiapkan di lokasi. Romo Paroki Klepu, Florentinus Hartanto Pr membenarkan, acara tersebut adalah ramah tamah keluarga dan anak-anak eks tapol 1965.

"Beberapa hari lalu ada orang yang telpon saya bilang ingin menyewa padepokan. Keperluannya untuk arisan dan ramah tamah dengan peserta sekitar 30 orang," katanya.

Panitia acara berniat menyewa padepokan selama dua hari, Minggu dan Senin (27-28/10). Namun belum sampai selesai, acara sudah dibubarkan.

Take a wild guess, siapa ya yang ciri-cirinya begini?

  • Agresif dan militan
  • Biasanya sangat nasionalis
  • Sangat membenci komunisme dan komunis
  • Tapi tidak keberatan, bahkan sangat menganjurkan salah satu ajaran komunis yang sangat penting, yaitu penguasaan faktor produksi dan pembatasan ekonomi oleh negara

Coba dibandingkan dengan kutipan ini.

The keystone of the Fascist doctrine is its conception of the State, of its essence, its functions, and its aims. For Fascism the State is absolute, individuals and groups relative.

Fascism should be more appropriately called Corporatism because it is a merger of state and corporate power.

~Benito Mussolini

People really do not learn from history.

Di mana lagi kalau bukan di negeri dongeng?

October 21st, 2013 § 0 comments § permalink

samad

Indonesia memang negeri dongeng. Jutaan orang yang mengecap bangku sekolah di sini disuapi dongeng tentang kekayaan bumi, tanah dan airnya. Mereka jadi percaya bahwa semua kekayaan itu sudah ada; tinggal menunggu seorang pemimpin adil yang bisa membagi-bagi kekayaan itu dan membuat semua orang makmur sejahtera.

Mereka lupa mengajarkan bahwa kekayaan alam atau nonalam seperti apa pun berharganya harus dicari, diolah dan dimanfaatkan dalam kegiatan ekonomi agar ada nilainya. Mereka lupa mengajarkan bahwa tidak mungkin kekayaan bisa dimiliki secara kolektif oleh ‘seluruh’ rakyat, karena siapa pun yang berjasa mencari, mengolah dan memanfaatkan kekayaan tersebut pasti lebih berhak untuk menikmati hasil kerja mereka, dan mereka harus bisa menikmati hasil kerja mereka tanpa khawatir kehilangan hak itu.

Dongeng seperti itu juga yang mendorong serikat buruh seperti tak pernah puas memaksakan tuntutannya. Di pikiran mereka pengusaha punya kekayaan tak terbatas dan selalu bisa membayar upah lebih besar lagi kalau saja dipaksa oleh regulasi. Di pikiran mereka kalau mereka mendapat upah layak, semua orang akan makmur dan sejahtera.

Mereka lupa mengajarkan para pengurus serikat buruh di sekolah bahwa upah sama dengan harga, dan harga selalu tunduk pada hukum permintaan dan penawaran. Mereka lupa mengajarkan (atau sengaja melupakan) bahwa upah minimum sama dengan price floor, dan konsekuensi dari price floor yang lebih tinggi daripada harga ekuilibrium adalah adanya surplus pasokan pekerja. Dengan kata lain, memaksa upah minimum naik sama saja dengan melarang orang yang produktivitas marjinalnya di bawah tingkat upah minimum itu bekerja. Dengan kata lain lagi, memaksa upah minimum naik sama dengan memaksa orang menganggur.

Makin parah lagi, dunia dongeng yang diinginkan serikat buruh itu seolah dapat justifikasi dari pemimpin lembaga yang sedang naik pamornya. Di acara serikat buruh hari ini, ketua KPK bilang seperti ini.

Ketua KPK Abraham Samad mengatakan salah satu penyebab kemiskinan adalah korupsi. Menurut perhitungannya, jika tidak ada korupsi, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia mencapai puluhan juta rupiah per bulan.

Dari sektor migas saja, menurutnya hampir 50% perusahan tambang di Indonesia itu tidak membayar royalti ke pemerintah. Angka tersebut jika dirupiahkan mencapai Rp 20 ribu triliun.

“Coba dibagi dengan 241 juta jiwa. Maka kita akan menemukan angka pendapatan terendah adalah Rp 30 juta per bulan,” kata Abraham Samad dalam dialog kebangsaan di depan puluhan ribu buruh di Istora, Senayan, Jakarta, Senin (21/10/2013).

Pertama, yang dimaksud “pendapatan per kapita masyarakat Indonesia” oleh beliau itu sepertinya “produk domestik bruto per kapita ekonomi Indonesia”.

Menurut BPS, PDB total Indonesia secara nominal harga tahun 2012 adalah sekitar Rp8 ribu triliun, atau per kapitanya Rp33.3 juta per tahun. Itu sekitar Rp2,7 juta per bulan. Menurut beliau, seharusnya PDB per kapita Indonesia itu Rp30 juta per bulan, atau Rp360 juta per tahun. Sedikit koreksi pak, kalau dikalikan 241 juta populasi Indonesia, itu PDB totalnya bukan Rp20 ribu triliun, tapi sekitar 87 ribu triliun! Wah ke mana hilangnya yang Rp79 ribu triliun?

Nah, itu. Menurut beliau itu karena hampir 50% perusahaan tambang di Indonesia tidak membayar royalti ke pemerintah. Waduh, kenapa bisa begitu? Beliau lanjut begini.

Ironisnya menurut Samad, para pengusaha itu bukan tanpa alasan tidak membayar royalti ke pemerintah. Mereka justru menghabiskan uangnya lebih banyak untuk menyuap oknum aparat.

Pusing saya. Jadi menurut beliau nilai ekonomi yang jauh lebih besar daripada nilai produksi seluruh ekonomi Indonesia itu bisa hilang begitu saja karena dipakai untuk membayar aparat dan pejabat korup.

Hore! Logika hebat!

Begini. Royalti itu, kalau pun tidak dibayarkan ke pemerintah, tidak lenyap begitu saja, apalagi nilainya sedahsyat itu. Kalau pun uang itu dibayarkan ke aparat dan pejabat korup, pertama, kegiatan ekonomi yang menyebabkan ada royalti yang harus dibayar itu tetap akan menghasilkan nilai ekonomi. Kedua, aparat atau pejabat korup itu pun akan melakukan kegiatan ekonomi dengan uang haram yang didapat. Apa iya mereka semua kompak menyimpan berbundel-bundel uang kertas di rumah masing-masing sehingga sama sekali tidak ada jejak ekonominya? Menyimpan uangnya di bank pun akan tercatat sebagai kegiatan ekonomi, pak, apa lagi ‘mencuci uang’ dengan membeli aset. Uang yang masuk ke bank juga akan menghasilkan laba bagi bank atau dipinjamkan ke pihak lain sehingga menghasilkan laba juga bagi pihak lain. Uang yang dipakai membeli aset menghasilkan laba bagi penjual aset, menciptakan lapangan kerja juga.

Jadi nggak mungkin hilang tanpa jejak ekonominya sama sekali.

Yang paling parah menurut saya adalah pandangan bahwa pendapatan, dus kesejahteraan masyarakat, yang terdiri dari individu-individu dengan pribadi, minat, keahlian berbeda-beda, semuanya ditentukan oleh negara atau pemerintah belaka.

Kalau begini, kata serikat buruh, untuk apa mereka menuntut upah minimum naik jadi Rp4 atau 5 juta saja? Batasnya langit!

Sebodoh-bodohnya keledai…

October 9th, 2013 § 0 comments § permalink

Berabad-abad sejarah sebagai bangsa yang tidak mandiri memang sulit dilepaskan dari psyche kolektif masyarakat. Dalam kesadaran mereka, nasib dan masa depan mereka ditentukan oleh pemimpinnya, bukan hasil kerja mereka sendiri.

Pesan dari video di atas ini menyiratkan perspektif tersebut. Saat ini, nama Jokowi sepertinya memang sudah jadi jaminan laku. Bila menyimak komentar sebagian orang, seolah-olah kalau Jokowi jadi presiden Indonesia pasti akan makmur, maju dan adil seperti di surga. Rasa-rasanya tidak mungkin PDIP akan menyia-nyiakan aset politik seperti itu di pemilu tahun depan.

Pengunggah video berpesan begini.

Sejarah Republik terulang kembali….Ir Soekarno hrs diculik dan dipaksa pr pemuda yang mewakili daerah2 di Indonesia agar beliau mau memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia….

Padahal semua orang sudah tahu kelanjutan cerita itu. Si bung yang juga senang disebut Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi itu jatuh cinta kepada dirinya sendiri. Ia anggap jutaan rakyatnya sebagai harta kekayaan pribadinya belaka, bukan sebagai individu yang merdeka. Ia cetak uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai kepuasan pribadi dan proyek-proyek mercu suarnya hingga uang itu tak lagi berharga. Semakin ia pandang pintar dirinya sendiri, semakin ia anggap bodoh jutaan rakyatnya, hingga tak ada jalan lain, harus ia atur semua hal sekecil-kecilnya dengan ‘demokrasi terpimpin’.

Satu hal yang mestinya diingat dari sejarah itu adalah kecintaan berlebihan pada figur seorang pemimpin adalah salah satu jalan menuju jurang kesahayaan, atau road to serfdom menurut Hayek. Cinta memang membutakan. Yang dicinta tak lagi terlihat celanya sejauh apa pun ia berubah.

What makes the chicken go?

September 27th, 2013 § 0 comments § permalink

Ayam

Here’s a typical economic news in the media. This one talks about the price for whole chicken that’s been inching up for some time. A chicken seller in Bandung, West Java, offers his opinion.

"Price had actually started to come down last week to Rp30,000, but now as we’re approaching the Idul Adha (day of sacrifice) holiday it’s going up again."…

He said that increases like this are the result of manipulation by wholesalers.

In a socialistic culture, big business is always the suspect of every crime. Prices go up? It’s the wholesalers. Prices collapse? The speculators are to blame. Prices aren’t moving? Why, its because the wicked big players are fixing them.

Now prices for everything have been generally on the rise for quite a while in Rupiah terms. That’s largely due to the inflation ‘imported’ from the US with the Federal Reserve undertaking their unprecedented monetary stimulus called QE. Recently, foreign money has been flowing out due to rising interest rates in developed countries. On top of that, the government also reduced fuel subsidy this year, which exacerbated domestic inflation.

Another reason is the government’s misguided move last year to cut beef imports as part of their goal of self-sufficiency in beef. The drastic cut led to acute shortage, sending beef price to the sky and causing households to cut down on beef and opt for the next best thing, chicken. Even more amazingly, the government’s solution is not to admit that they were wrong and stop meddling with the beef trade, but to try to buy up land in Australia and tell one of the state-owned companies to operate a big-ass cattle ranch down there.

Now as the Idul Adha approaches, cattle and goat raisers are setting aside a significant portion of their animals for fattening to make them available for the day of sacrifice. This is causing even more shortage in animal protein options for consumers during these days, and the price of chicken surely has to go up to reflect that scarcity.

All these reasons should be enough to explain the rising price of chicken. But of course, it’s a more difficult story to tell than just blaming everything on some nefarious fat men controlling everything from behind the curtain.

Stories like these are always more compelling emotionally when you also describe the plight of the consumers, like the next person quoted, who buys whole chicken for her restaurant.

…That’s why Lia is hoping that the government take action to control the price of chicken.

"Last I knew the price was Rp30,000 per kilogram, but it’s gone up now."

Of course most consumers probably aren’t aware that it’s the government’s action that caused the whole thing in the first place, but they should be. Whenever there’s some imbalance in an economic situation, the first thing is to ask what the government has been up to in that sector.

But of course, that rarely happens.