Rokok elektronik: Anugerah atau bencana?

November 27th, 2014 § 0 comments § permalink

vaping

Isu rokok memang seolah tidak pernah selesai dibahas. Di satu sisi, kebiasaan merokok sudah sangat mendarah daging bagi banyak orang sehingga mereka sangat sulit berhenti merokok walaupun kampanye antirokok semakin gencar dilakukan. Di sisi lain, risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok memang cukup nyata dan perlu mendapat perhatian serius.

Oleh karena itu, wajar bila banyak kalangan, terutama perokok, menyambut gembira hadirnya perangkat temuan ahli farmasi asal Tiongkok, Hon Lik, yang mematenkan rokok elektronik atau e-cigarette pada tahun 2003. Tidak seperti rokok biasa, perangkat ini memadukan elemen pemanas dengan cartridge atau wadah berisi cairan (bisa mengandung nikotin, bisa tidak) yang diatomisasi menjadi uap yang kemudian diisap oleh penggunanya.

Mekanisme ini terkesan terinspirasi oleh shisha, di mana cairan yang disiapkan dari rendaman daun tembakau, molase dan gliserin dipanaskan menjadi uap. Tapi berbeda dari shisha, perangkat e-cigarette­ ringkas dan mudah dibawa-bawa, sehingga praktis dan mudah dinikmati oleh penggunanya seperti rokok biasa. Ditambah dengan kemampuan e-cigarette untuk memberikan pengalaman yang mirip dengan merokok, tak aneh bila produk ini mendapat sambutan yang sangat baik dari konsumen.

Tentu ini menjadi kabar gembira juga bagi para pegiat kesehatan. Betapa tidak, kini para perokok mendapatkan produk alternatif yang memberikan kepuasan yang hampir sama, tapi dengan risiko kesehatan yang jauh lebih kecil daripada rokok biasa. Akhirnya para perokok tidak perlu lagi dipaksa untuk berhenti merokok menggunakan alat-alat bantu seperti terapi penggantian nikotin, karena banyak dari mereka yang dengan kemauan sendiri beralih menggunakan produk yang lebih aman tersebut.

Tetapi nyatanya tidak sesederhana itu. Sebagian pegiat kesehatan dan regulator justru menentang produk baru tersebut dengan berbagai alasan. Sementara itu, sebagian pihak lain sangat mendukung penggunaan e-cigarette sebagai produk alternatif yang mendukung tujuan pengurangan bahaya (harm reduction) dari penggunaan tembakau.

Contohnya, belum lama ini sejumlah media di Indonesia mengangkat isu penggunaan e-cigarette, dengan mengutip pendapat sejumlah kalangan, dari pihak pemerintahan hingga ahli kesehatan. Cukup disayangkan bahwa dari sejumlah pemberitaan tersebut sepertinya tidak ada yang menyampaikan pendapat dari pihak pendukung e-cigarette ataupun dari para pengguna produk ini (yang kini sering disebut “vaper“). Dan yang lebih disayangkan lagi, banyak dari pendapat yang terungkap dalam pemberitaan tersebut sebenarnya bukanlah merupakan isu baru dan lebih merupakan mitos daripada fakta.

Di sini penulis akan mencoba membahas beberapa isu tersebut. Sebagai informasi, penulis tidak memiliki kepentingan finansial dari produk e-cigarette atau produk-produk pelengkapnya. Penulis hanyalah salah satu dari sekian banyak vaper yang telah secara drastis mengurangi ketergantungan terhadap rokok berkat hadirnya e-cigarette, merasakan sendiri pernafasannya menjadi kembali lega karenanya, dan selama ini mencoba mencari informasi secara mandiri mengenai produk ini dan berupaya menelaahnya secara kritis.

Mitos no. 1: Tidak ada bukti bahwa e-cigarette mampu membuat orang berhenti mengonsumsi rokok.

Fakta yang ada justru berbicara sebaliknya. Dari sisi bisnis, pasar e-cigarette menunjukkan perkembangan yang sangat pesat, bahkan tumbuh hingga dua kali lipat selama beberapa tahun belakangan, ketika pasar rokok konvensional secara umum menunjukkan penurunan, terutama di negara-negara maju.[1] Ini secara sepintas menunjukkan beralihnya para perokok dari rokok konvensional ke e-cigarette.

Dalam studi yang dipublikasikan bulan Oktober lalu oleh periset dari University of Massachussets ditemukan bahwa pengguna intensif e-cigarette (didefinisikan sebagai seseorang yang menggunakan e-cigarette setiap hari) 6 kali lipat lebih mungkin untuk berhenti merokok dibandingkan perokok yang tidak menggunakannya.[2]

Yang lebih mengesankan lagi, dalam uji klinis pertama atas e-cigarette di Italia yang dipublikasikan tahun lalu, 300 orang perokok yang tidak sedang berusaha berhenti merokok diberikan 3 jenis e-cigarette dengan kadar nikotin dan lama pemberian yang berbeda. Hasilnya, dari kelompok yang mendapatkan kadar nikotin terbesar (7,2 mg) dan pemberian yang paling lama (12 minggu), 13% berhenti merokok selama satu tahun. Dan dari ketiga kelompok tersebut, rata-rata 7,8 persen berhenti merokok. Tidak hanya itu, 70% dari mereka yang berhenti merokok juga berhenti menggunakan e-cigarette![3]

Bayangkan, ke-300 orang ini sama sekali tidak berniat ataupun berusaha berhenti merokok, namun cukup dengan menggunakan e-cigarette, sebagian dari mereka mampu berhenti merokok dan bahkan berhenti mengonsumsi nikotin sama sekali!

Mitos no. 2: E-cigarette ‘melatih’ orang yang belum pernah merokok untuk nantinya menjadi pengguna rokok konvensional.

Dilihat dari asal-usulnya, e-cigarette justru dilahirkan sebagai alat bagi penemunya untuk menggantikan kebiasaan merokoknya dengan menggunakan produk yang lebih aman. Dan memang benar, Hon Lik terinspirasi untuk merancang perangkat tersebut setelah menyaksikan sendiri kematian ayahnya akibat kanker paru-paru. Kurang masuk akal kalau alat temuannya tersebut dirancang justru untuk membuat orang yang tidak merokok menjadi perokok.

Selain itu, menurut data Centers for Disease Control and Prevention (pusat pengendalian penyakit AS), tingkat merokok di kalangan remaja AS turun hingga ke titik terendah (15,7%) pada tahun 2013.[4] Menariknya, menurut CDC sendiri, tingkat penggunaan e-cigarette di kalangan remaja meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2011-2012.[5] Bila benar e-cigarette ‘melatih’ orang yang belum pernah merokok menjadi pengguna rokok konvensional, tentu seharusnya peningkatan penggunaan e-cigarette di kalangan remaja tersebut juga akan menghasilkan peningkatan jumlah remaja yang mengonsumsi rokok konvensional. Tapi nyatanya justru hal sebaliknya yang terjadi. Perlu dicatat bahwa fenomena yang sama juga terjadi di Inggris.[6]

Dalam studi yang dilakukan oleh periset dari University of Oklahoma Health Sciences Center, AS, 1.300 orang mahasiswa yang rata-rata berusia 19 tahun diteliti mengenai pola konsumsi tembakau dan penggunaan e-cigarette mereka. Hasilnya, 43 orang mengaku bahwa produk nikotin pertama mereka adalah e-cigarette. Dari 43 orang tersebut, hanya satu orang yang mengaku berlanjut mengonsumsi rokok konvensional, dan sebagian besar di antara mereka pada saat riset sudah tidak lagi mengonsumsi nikotin.[7] Menurut periset Theodore Wagener, kebanyakan remaja dan orang dewasa yang menggunakan e-cigarette adalah mereka yang berupaya berhenti merokok atau setidaknya mengurangi risiko bahaya merokok. Menurutnya juga, ia tidak menemukan bukti bahwa e-cigarette merupakan pintu gerbang bagi penggunaan rokok konvensional di kemudian hari.

Mitos no. 3: E-cigarette lebih berbahaya dibandingkan rokok konvensional.

Mengingat e-cigarette merupakan produk relatif baru, memang tingkat keamanannya secara mutlak masih belum dapat diketahui bila digunakan secara rutin dalam jangka panjang. Akan tetapi sejauh yang diketahui berdasarkan sains dan bukti yang ada, sejatinya sudah cukup jelas bahwa e-cigarette jauh lebih aman daripada rokok konvensional.

Menurut salah satu pionir studi perilaku merokok Profesor Michael Russell, “Orang merokok untuk mendapatkan nikotin, tetapi mati karena tar.”[8] Seperti diketahui, tar merupakan zat yang dihasilkan oleh proses pembakaran rokok, dan tidak akan ada tanpa proses pembakaran tersebut. Demikian pula, menurut Royal College of Physicians, “…nikotin sendiri bukanlah suatu zat yang sangat berbahaya … bila nikotin dapat diberikan dengan cara yang dapat diterima dan efektif sebagai pengganti rokok, jutaan jiwa dapat terselamatkan.”[9] Dalam dokumen yang sama, disebutkan bahwa, “Nikotin dari rokok dibawa oleh asap yang juga mengandung ribuan zat kimia lain, termasuk karsinogen dan bahan beracun. Beberapa dari bahan tersebut sudah ada pada daun tembakau sebelum dibakar, namun sebagian besarnya adalah hasil dari proses pembakaran.”

Artinya, sebagian besar risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh kebiasaan merokok, baik bagi perokok maupun orang di sekitar mereka, disebabkan oleh proses untuk mendapatkan nikotin dengan membakar daun tembakau kering (beserta bahan-bahan lainnya yang dibakar, termasuk kertas dan lem) pada rokok.

Nikotin sendiri bukanlah zat yang sangat berbahaya bila dikonsumsi dalam jumlah yang tidak sangat berlebihan. Nikotin merupakan zat yang terdapat secara alami tidak hanya pada tembakau, namun juga pada sejumlah tanaman lain yang biasa dikonsumsi manusia, seperti tomat, kentang, terung, teh, paprika dan kubis. Dengan kata lain, nikotin hanyalah senyawa alkaloid biasa seperti halnya kafein, misalnya. Bila dikonsumsi tanpa zat-zat lain yang terkandung dalam asap rokok, nikotin bahkan diindikasikan dapat membantu mengurangi risiko atau mengobati sejumlah penyakit yang berhubungan dengan fungsi kognisi dan otak, seperti Parkinson, ADHD, skizofrenia, sindrom Tourette, dan Alzheimer.[10]

Untuk e-cigarette sendiri, selain dari fakta bahwa tidak ada proses pembakaran dalam penggunaannya, sejumlah studi telah menunjukkan bahwa produk tersebut memang benar lebih aman daripada rokok konvensional. Contohnya, periset di Italia dan Yunani tahun lalu mempublikasikan studi yang menemukan bahwa uap yang dihasilkan oleh 21 jenis cairan e-cigarette memiliki sitotoksisitas (daya merusak sel) yang jauh lebih kecil dibandingkan asap rokok.[11]

Dalam studi lain yang dipublikasikan tahun 2013 di jurnal Tobacco Control, para peneliti menemukan bahwa konstituen kimiawi pada uap yang dihasilkan oleh 12 merek e-cigarette mengandung jumlah zat berbahaya yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh produk inhalasi nikotin (alat bantu berhenti merokok yang sudah disetujui penggunaannya, termasuk oleh lembaga pengawas obat AS, FDA), tapi 9 hingga 450 kali lebih sedikit dibandingkan rokok konvensional.[12]

Bagaimana dengan dampak uap e-cigarette terhadap orang di sekitar penggunanya? Dalam studi yang dipublikasikan jurnal Inhalation Toxicology bulan Oktober 2012,[13] para peneliti mengumpulkan emisi yang dihasilkan oleh sejumlah e-cigarette untuk mempelajari konsentrasi dari emisi kandungan tembakau yang dihasilkan dan membandingkannya dengan emisi asap rokok. Para peneliti menemukan bahwa uap e-cigarette hampir sama sekali tidak mengandung zat kimia yang terdapat dalam asap rokok. Mereka juga menyimpulkan bahwa tidak ada risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh emisi e-cigarette.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari fakta-fakta ini adalah e-cigarette jelas merupakan terobosan yang sangat berharga bagi siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap masalah kesehatan yang disebabkan oleh kebiasaan merokok. Menurut bukti yang sudah ada, harus disimpulkan bahwa produk ini berisiko jauh lebih kecil dibandingkan rokok konvensional, baik bagi penggunanya maupun bagi orang lain.

Memang sejauh yang kita ketahui, e-cigarette belum bisa dibilang 100 persen aman. Namun dengan logika yang sama, kopi, yang mengandung alkaloid berupa kafein yang juga merupakan neurotoksin seperti halnya nikotin, juga bukan produk yang 100 persen aman. Bahkan, air, yang merupakan sumber kehidupan pun bila dikonsumsi terlalu banyak bisa menyebabkan hiponatremia, yang dapat berakibat fatal. Seperti dinyatakan ilmuwan Renaisans Swiss, Paracelsus, sekitar lima abad lalu, yang membedakan apakah suatu zat beracun atau tidak hanyalah dosisnya.

Yang perlu diingat oleh siapa pun yang peduli terhadap risiko kesehatan merokok, nyawa jutaan perokok dapat diselamatkan dari risiko terkena penyakit terkait merokok dan kematian dini, cukup dengan mendorong mereka mengonsumsi produk yang terbukti dapat diterima dengan baik oleh banyak dari perokok, tanpa perlu merampas hak dan kebebasan mereka. Sebaliknya, menghambat atau bahkan melarang penggunaan e-cigarette sama saja dengan memaksa banyak orang yang telah beralih ke produk yang berisiko lebih kecil ini untuk kembali mengonsumsi rokok yang nyata-nyata lebih berbahaya.

 


[1] Robehmed N. E-cigarette Sales Surpass $1 Billion As Big Tobacco Moves In. Forbes. 17-9-2013. http://www.forbes.com/sites/natalierobehmed/2013/09/17/e-cigarette-sales-surpass-1-billion-as-big-tobacco-moves-in/

[2] Biener, L. and Hargraves, J. L. A longitudinal study of electronic cigarette use in a population-based sample of adult smokers: association with smoking cessation and motivation to quit. Nicotine & Tobacco Research . 9-10-2014. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25301815

[3] Caponnetto P, et al. Efficiency and safety of an electronic cigarette as tobacco cigarettes substitute: A prospective 12-month randomized control design study. PLos One. 24-6-2013. http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.0066317

[4] Centers for Disease Control and Prevention. 2013 Youth Risk Behavior Survey. http://www.cdc.gov/mmwr/pdf/ss/ss6304.pdf

[5] Centers for Disease Control and Prevention. E-cigarette use more than doubles among U.S. middle and high school students from 2011-2012. Situs web Centers for Disease Control and Prevention. http://www.cdc.gov/media/releases/2013/p0905-ecigarette-use.html

[6] Action on Smoking and Health UK. Smoking Rates Among Children in England Fall to Record Low. Situs web Action on Smoking and Health UK. 24-7-2014. http://www.ash.org.uk/media-room/press-releases/:smoking-rates-among-children-in-england-fall-to-record-low

[7] Goodman B. E-Cigarettes May Not Be Gateway to Smoking: Study. Situs web WebMD. 29-10-2013. http://www.webmd.com/smoking-cessation/news/20131029/e-cigarettes-may-not-be-gateway-to-smoking-study

[8] Russell M. Low-tar medium-nicotine cigarettes: a new approach to safer smoking. British Medical Journal 1976. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1640397/

[9] Tobacco Advisory Group of the Royal College of Physicians. Harm reduction in nicotine addiction: Helping people who can’t quit. Royal College of Physicians. October 2007. http://www.tobaccoprogram.org/pdf/4fc74817-64c5-4105-951e-38239b09c5db.pdf

[10] Hurley D. Will a Nicotine Patch Make You Smarter? [Excerpt]. Scientific American. 9-2-2014. http://www.scientificamerican.com/article/will-a-nicotine-patch-make-you-smarter-excerpt/

[11] Farsalinos KE, et al. Cytotoxicity evaluation of electronic cigarette vapor extract on cultured mammalian fibroblasts (ClearStream-LIFE): comparison with tobacco cigarette smoke extract. Inhalation Toxicology 2013; 25(6). http://informahealthcare.com/doi/abs/10.3109/08958378.2013.793439

[12] Goniewicz ML, et al. Levels of selected carcinogens and toxicants in vapour from electronic cigarettes. Tobacco Control. 6-3-2013. http://tobaccocontrol.bmj.com/content/early/2013/03/05/tobaccocontrol-2012-050859.abstract

[13] McAuley TR, Hopke PK, Zhao J, Babaian S. Comparison of the effects of e-cigarette vapor and cigarette smoke on indoor air quality. Inhalation Toxicology 2012; 24(12). http://informahealthcare.com/doi/abs/10.3109/08958378.2012.724728

Percuma mikir kalo nggak kritis

November 17th, 2014 § 0 comments § permalink

percuma

Indonesia nggak perlu Kementerian Kesehatan kalo fungsinya cuma untuk nyetempel semua instruksi WHO. Mbok coba berpikir kritis dan mandiri, jangan cuma ngikutin press release atau talking points-nya WHO.

Mereka bilang e-cigarette bisa jadi gateway to tobacco use? Coba baca artikel mengenai studi ini. Bayangin, dari 1,300 orang cuma ada satu yang akhirnya merokok? Nggak efisien banget dia sebagai ‘gateway’.

Mereka bilang ecig gak bisa bikin orang berhenti merokok? Jangan-jangan WHO melarang mereka baca studi ini. Uji klinisnya pun udah ada di sini.

Dan yang paling membingungkan adalah klaim soal ecig lebih berbahaya daripada rokok konvensional, itu dasarnya apa coba? Akal sehat aja pasti bisa tau bedanya: Yang satu uap hasil pemanasan cairan dan yang satunya asap hasil proses pembakaran sesuatu. Sudah ada studinya kok bahwa uap ecig lebih aman dari segi sitotoksisitasnya, komposisi karsinogennya, dan emisinya daripada rokok konvensional.

Jangan cuma mikir; mikir yang kritis.