March 6th, 2019 § § permalink
I read about the gilets jaunes in France who have been in the news for a few months now. It seems that the protests and the government’s response to them have become more violent lately.
Is the world really becoming more violent? Or has violence always been an inseparable part of human existence, and we’re just hearing more of it due to the fact that information from all corners of the world is now accessible from the tap or swipe of your fingers?
I’m thinking that both could be true. Disagreement is a logical consequence of the diversity of the human condition. It will always be with us.
But as technology allows us to be more connected to each other, it also exposes us to the different ways that people do and think about things. There lies the increased potential for disagreement and conflict.
So, since technology always advances and diversity is part and parcel of our worldly existence, does this mean that violence will always continue to escalate until humanity destroys itself?
I’d like to think that’s not the case.
An important part of the equation is the human ability to empathize. Humanity has evolved this powerful trait to help the survival of our species. The homo species thrives because we are able to cooperate and have the capacity to coordinate our cooperation. You can’t cooperate when there aren’t anyone else you can cooperate with. As a result, ensuring the survival of others is in fact ensuring your own survival. In other words, humanity needs empathy to survive.
This is the thinking that underlies my new release, “A Perfect Universe,†a contemplative pop/jazz tune with a hopeful message. The song has a few parts with different moods to reflect changes from a somber, more serious tone, to an upbeat, more optimistic atmosphere.
And that is my hope for humanity. Things may seem bleak and gloomy when one follows the news around the globe. But there is always reason to feel hopeful and optimistic.
Please go ahead and enjoy this release through the below. As always, you can also buy a digital copy on Bandcamp.
May 1st, 2015 § § permalink
A: Sukurin tuh ada lagi orang osi yang ketangkep bawa obat! Ribut melulu sih!
B: Kesian.
A: Biarin aja. Nyebelin.
B: Gue sih gak tega.
A: Emang kenapa sih? Pengedar aja dibelain?
B: Gue gak setuju pemerintah dibolehin membunuh orang.
A: Tapi kan di sini peraturannya emang gitu?
B: Gini aja sih, elu pernah berurusan sama hukum nggak?
A: Pernah, emang kenapa?
B: Menurutlo elo diperlakukan secara adil ketika berurusan sama hukum?
A: Hmmm, ya nggak jelas juga sih.
B: Elo pernah denger gak orang kemalingan ayam kalo dibawa ke polisi jadi kehilangan kambing?
A: Iya juga sih, tapi itu kan oknum.
B: Ya sekali dua kali sih oknum, tapi kalo begitu sering terjadinya sampai ada anggapan umum seperti itu masak masih nyalahin oknum?
A: Ya mungkin sistem hukum kita memang belom sempurna sih…
B: Nah elo yakin sistem hukum yang ‘belom sempurna’ itu, yang bisa bikin orang kehilangan ayam jadi kehilangan kambing, yang bisa membuat pejabat berekening gendut gak jelas sumbernya bebas melenggang tanpa konsekuensi, menurutlo sistem seperti itu bisa dipercaya menentukan hidup-matinya seseorang?
A: Tapi kan emang peraturannya begitu?
B: Iya ya? Tapi kan grasi juga salah satu bagian dari peraturan yang berlaku di sini. Apa pun kata pengadilan, sebetulnya harusnya selalu masih ada ruang untuk memberikan pengampunan. Biasanya sistem hukum masih menyisakan ruang bagi empati dan kemanusiaan, karena sebagus apa pun suatu sistem hukum, dia tetap aja buatan manusia dan dijalankan oleh manusia, semuanya bisa melakukan kesalahan. Misalnya di sistem Common Law, untuk kasus kejahatan serius biasanya melibatkan orang biasa yang ditunjuk untuk menjadi juri. Di sistem hukum di sini, ruang bagi empati dan rasa kemanusiaan itu antara lain diberikan lewat grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Memang peraturan yang ada mengancam hukuman mati untuk kasus terkait narkoba, tapi bukan berarti yang terkait kasus narkoba harus selalu dijatuhi hukuman mati.
A: Ya yang berhak ngasih grasi kan presiden, dan dia udah berjanji nggak akan ngasih grasi untuk kasus narkoba.
B: Nah itu juga perlu dikritik sebetulnya.
A: Kenapa?
B: Itu menurut gue dia sama saja nggak mau melakukan tanggung jawabnya untuk jadi pengimbang kekuasaan kehakiman. Artinya dia nggak mau melihat secara kasus per kasus apakah ada unsur lain yang sebetulnya bisa dijadikan pertimbangan untuk meringankan hukuman yang diberikan kepada seorang terpidana. Padahal, grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi juga adalah bagian dari sistem hukum di sini. Bisa dibilang bagian penting malah.
A: Dia kan merasa narkoba adalah masalah darurat bagi bangsa. Jadi harus dihukum seberat-beratnya.
B: Itu juga yang bikin sebagian orang geregetan sih.
A: Kenapa?
B: Di berbagai tempat di dunia, orang mulai menyadari bahwa melarang narkoba justru merugikan, bukan membantu menyelesaikan masalah narkoba, dan mulai mencermati apakah sebetulnya masalah yang selama ini dianggap merupakan akibat penggunaan narkoba sebetulnya justru merupakan ekses dari pelarangan narkoba.
A: Wah, ngaco banget tuh. Maksudnya gimana?
B: Ya misalnya yang menurutlo masalah karena penggunaan narkoba itu apa?
A: Ya drugs itu kan adiktif banget. Bahaya bagi siapa pun yang mengonsumsinya.
B: Emang betul, zat-zat yang termasuk psikotropika atau mind-altering drugs itu cenderung adiktif, tapi kecanduan itu sebetulnya masalah kriminal atau masalah kesehatan? Selain itu banyak juga lho zat-zat yang bisa dikonsumsi secara legal juga tak kalah mencandunya. Rokok, misalnya. Elu ngerokok kan?
A: Iya.
B: Bagaimana kalo rokok dilarang?
A: Berarti gua harus berhenti ngerokok.
B: Nah elo mungkin bisa begitu, tapi sebagian orang yang lain, mungkin yang sudah sangat kecanduan, mungkin akan mencari sumber lain yang tidak legal kalo rokok dilarang. Artinya melarang sesuatu bukan berarti sesuatu itu akan lenyap begitu saja dari muka bumi. Inget kan hukum supply and demand? Kalo sesuatu itu dilarang, supply-nya kan jadi berkurang, padahal biasanya akan tetap ada demand-nya. Karena itu, harganya jadi tinggi dan karena harga yang tinggi itu, pasti tetap ada yang akan tertarik untuk ‘gambling’ dan mencoba jadi pemasok barang itu, karena potensi untungnya gede banget. Padahal kalau sesuatu itu tidak legal, jadi sulit kan memastikan produk itu aman dan produsennya bertanggung jawab?
A: Iya lah, mereka dianggap penjahat kan berarti?
B: Betul, dan menurut “iron law of prohibition” semakin keras suatu zat dilarang, semakin tinggi potency zat tersebut di pasar gelap. Itu juga udah pernah diteliti oleh Mark Thornton dari Cato Institute (http://www.cato.org/pubs/pas/pa-157.html). Dan memang benar, semakin besar dana penegakan hukum narkoba di AS, semakin tinggi tingkat potency marijuana yang beredar di sana. Jadi mungkin bisa dibilang juga masalah kecanduan obat itu salah satu penyebabnya adalah justru karena obat itu dilarang.
A: Jadi menurutlo orang harusnya bebas aja jual beli narkoba?
B: Menurut gue masalah narkoba jangan lagi dilihat sebagai masalah kriminal, tapi ditangani dengan pendekatan kesehatan masyarakat. Gue juga nggak pake narkoba dan nggak mau anak dan keluarga gue pake narkoba, tapi menurut gue melarang narkoba sebagai perkara kriminal itu seperti menyembunyikan masalah itu di balik karpet dan menganggapnya seolah-olah nggak ada.
A: Tapi kan gambling banget tuh kalo misalnya narkoba dibolehin, terus masalahnya jadi tambah parah gimana?
B: Udah ada beberapa tempat yang mendekriminalisasi kepemilikan narkoba sih. Yang sering dijadikan contoh Portugal, misalnya. Di situ, mereka ngeluarin UU baru tahun 2001 yang menghilangkan hukuman pidana atas kepemilikan narkoba bagi penggunaan pribadi. Hasilnya menurutlo apa?
A: Tambah banyak dong yang ngobat di sana?
B: Justru sebaliknya, tingkat penggunaan narkoba di sana malah turun secara bertahap. Di kalangan remaja kelas 7-10, misalnya, turun dari 14,1% jadi 10,6%. Begitu juga di kalangan siswa SMA. Yang mengesankan, berbagai konsekuensi negatif penggunaan narkoba paling drastis turunnya. Misalnya, infeksi HIV di kalangan pengguna turun dari 1.400 kasus di tahun 2000 jadi tinggal 400 kasus di tahun 2006. Jumlah kematian karena overdosis turun hampir setengahnya. Coba deh elo baca sendiri laporannya di sini: http://object.cato.org/sites/cato.org/files/pubs/pdf/greenwald_whitepaper.pdf
A: Terus berarti kalo banyak yang mulai mencoba dekriminalisasi gitu, kenapa di sini belom kedengeran apa-apa ya?
B: Ya nggak tau juga. Bisa jadi karena selalu ada kelompok yang berkepentingan dengan adanya perang terhadap narkoba ini.
A: Kepentingannya gimana?
B: Misalnya badan atau organisasi yang diserahi tanggung jawab memerangi narkoba. Semakin masyarakat merasa ‘terancam’ oleh masalah narkoba, semakin besar tekanan untuk memeranginya, dan semakin banyak dana yang dialokasikan untuk kepentingan itu. Menurutlo kira-kira siapa yang dapat dananya?
A: Mereka pastinya.
B: Betul, dan banyak juga orang-orang yang berpengaruh, pejabat pemerintah, petinggi militer, dll, yang ada di situ. Dan jangan lupa, bandar dan pengedar narkoba juga diuntungkan oleh status narkoba yang ilegal. Kalau bisnis narkoba dilegalkan dan dilakukan secara terbuka, semakin banyak pihak yang akan memasuki bisnis tersebut sehingga kompetisinya semakin banyak dan harganya akan turun. Artinya mereka tidak lagi bisa menikmati laba berlipat-lipat seperti sekarang ini.
November 22nd, 2013 § § permalink
Says Time:
Deteriorating diplomatic ties have turned to anger in Indonesia as Australia refuses to apologize over claims it tapped the phones of Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono, his wife and other senior politicians.
“CrushAustralia” (#ganyangaustralia) was a trending term on Twitter on Wednesday as Yudhoyono held an emergency meeting with his foreign minister and Indonesia’s ambassador to Australia, who was recalled from the country on Monday.
“Rather than cracking down on street thugs, better have them trained to be reserve troops and send them to #CrushAustralia,” read one tweet.
How does one go from allegations of phone tapping to a call to arms? If the father of your next door neighbor were to be caught eavesdropping on your family’s father’s conversation, would the proper response be to cut off all ties and communication with the next door neighbor’s entire family or to fight it out with them? Wouldn’t the ‘grown up’ response be just to have both fathers talk to each other and sort out their problems without the involvement of any of their family members?
The Indonesian society indeed has never been known for rationality. In fact, ‘amok’ as in ‘to run amok’ was loaned from the Malay-Indonesian word with the same meaning. But really, this society is becoming dysfunctional. Just a few days ago, I was at a restaurant that was hosting a birthday party for some children when I overheard a youngish mom who was telling her husband how great it was that their daughter used a pejorative and yelled at another child for touching her balloon.
That piece of property across the world seems even more alluring.
October 27th, 2013 § § permalink
Berita ini baru saja muncul:
Pertemuan Eks Tapol 65 Dibubarkan Paksa
Acara temu keluarga eks tahanan politik (tapol) G 30 S/PKI 1965 di Padepokan Santi Dharma Sleman, Minggu (27/10) berakhir ricuh. Kelompok ormas mengatasnamakan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) membubarkan paksa kegiatan.
Tiga orang peserta menjadi korban penganiayaan yakni Sukrisdiono (45) warga Purwokerto, Ardi Nugroho (23) warga Cilacap, dan Bayu Cahyadi warga Banyumas. Ketiganya mengalami luka lebam di bagian wajah.
Dari keterangan yang dihimpun di lokasi, kejadian berlangsung sekitar pukul 11.00. Saat itu, terlihat dua mobil dan belasan sepeda motor masuk ke halaman padepokan yang beralamat di Dusun Bendungan, Desa Sidoagung, Kecamatan Godean, Sleman.
"Puluhan orang tiba-tiba datang. Mereka pakai baju hitam bertuliskan FAKI," ungkap Koster Kapel Santi Dharma, Madya Saputra.
Sebagian dari anggota kelompok itu masuk ke dalam padepokan, sedang lainnya berada diluar. Setiba di dalam, mereka memaksa agar acara dibubarkan.
"Saya tidak berani mendekat, cuma melihat dari jauh. Tapi saya lihat satu orang dianiaya di halaman," katanya.
Sewaktu kejadian, di sekitar padepokan terlihat beberapa anggota polisi. Satu unit mobil ambulans juga sudah disiapkan di lokasi. Romo Paroki Klepu, Florentinus Hartanto Pr membenarkan, acara tersebut adalah ramah tamah keluarga dan anak-anak eks tapol 1965.
"Beberapa hari lalu ada orang yang telpon saya bilang ingin menyewa padepokan. Keperluannya untuk arisan dan ramah tamah dengan peserta sekitar 30 orang," katanya.
Panitia acara berniat menyewa padepokan selama dua hari, Minggu dan Senin (27-28/10). Namun belum sampai selesai, acara sudah dibubarkan.
Take a wild guess, siapa ya yang ciri-cirinya begini?
- Agresif dan militan
- Biasanya sangat nasionalis
- Sangat membenci komunisme dan komunis
- Tapi tidak keberatan, bahkan sangat menganjurkan salah satu ajaran komunis yang sangat penting, yaitu penguasaan faktor produksi dan pembatasan ekonomi oleh negara
Coba dibandingkan dengan kutipan ini.
The keystone of the Fascist doctrine is its conception of the State, of its essence, its functions, and its aims. For Fascism the State is absolute, individuals and groups relative.
Fascism should be more appropriately called Corporatism because it is a merger of state and corporate power.
~Benito Mussolini
People really do not learn from history.
October 9th, 2013 § § permalink
Berabad-abad sejarah sebagai bangsa yang tidak mandiri memang sulit dilepaskan dari psyche kolektif masyarakat. Dalam kesadaran mereka, nasib dan masa depan mereka ditentukan oleh pemimpinnya, bukan hasil kerja mereka sendiri.
Pesan dari video di atas ini menyiratkan perspektif tersebut. Saat ini, nama Jokowi sepertinya memang sudah jadi jaminan laku. Bila menyimak komentar sebagian orang, seolah-olah kalau Jokowi jadi presiden Indonesia pasti akan makmur, maju dan adil seperti di surga. Rasa-rasanya tidak mungkin PDIP akan menyia-nyiakan aset politik seperti itu di pemilu tahun depan.
Pengunggah video berpesan begini.
Sejarah Republik terulang kembali….Ir Soekarno hrs diculik dan dipaksa pr pemuda yang mewakili daerah2 di Indonesia agar beliau mau memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia….
Padahal semua orang sudah tahu kelanjutan cerita itu. Si bung yang juga senang disebut Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi itu jatuh cinta kepada dirinya sendiri. Ia anggap jutaan rakyatnya sebagai harta kekayaan pribadinya belaka, bukan sebagai individu yang merdeka. Ia cetak uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai kepuasan pribadi dan proyek-proyek mercu suarnya hingga uang itu tak lagi berharga. Semakin ia pandang pintar dirinya sendiri, semakin ia anggap bodoh jutaan rakyatnya, hingga tak ada jalan lain, harus ia atur semua hal sekecil-kecilnya dengan ‘demokrasi terpimpin’.
Satu hal yang mestinya diingat dari sejarah itu adalah kecintaan berlebihan pada figur seorang pemimpin adalah salah satu jalan menuju jurang kesahayaan, atau road to serfdom menurut Hayek. Cinta memang membutakan. Yang dicinta tak lagi terlihat celanya sejauh apa pun ia berubah.
September 25th, 2013 § § permalink
We talked earlier about how the Jakarta Governor thought that cheap cars weren’t what the people need. Here’s a news report about how Honda is overwhelmed by record orders for their low-cost models, the Brio Satya, Brio 1.2 liter and the Mobilio, within less than a month after they were launch at the 2013 Indonesia International Motor Show.
Does this mean that the people who buy the cars don’t know that they don’t need those cars? There’s something about demonstrated preference that makes it a more reliable indicator of people’s preference than what a bureaucrat says.
September 23rd, 2013 § § permalink
Give a man a fish and you feed him for a day and before you know it he’ll come right back at your door.
Teach him to fish and you feed him for a longer time after which he’ll be bored eating fish and come right back at your door.
Leave him alone and you give him a valuable lesson: Nothing in life is free and only he is the master of his own destiny.
November 23rd, 2010 § § permalink
But apparently doesn’t, which can be pretty frustrating for an Indonesian editor, is that di as a prefix is not the same as di as a particle.
Where it serves as a prefix to a verb it constructs the passive voice, meaning the grammatical subject of the verb is the recipient of the action. You do not introduce any space between di and the verb. Examples: dicari, dilakukan, disuruh, dikerjakan, dimarahi, diampuni, etc.
Di is also a particle that generally indicates place, in which case you insert a space between di and the noun that follows immediately after. For example: di kantor instead of dikantor, di rumah instead of dirumah, di luar instead of diluar, di atas instead of diatas, etc.
And yes, this is elementary school language class.