Berita ini baru saja muncul:
Pertemuan Eks Tapol 65 Dibubarkan Paksa
Acara temu keluarga eks tahanan politik (tapol) G 30 S/PKI 1965 di Padepokan Santi Dharma Sleman, Minggu (27/10) berakhir ricuh. Kelompok ormas mengatasnamakan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) membubarkan paksa kegiatan.
Tiga orang peserta menjadi korban penganiayaan yakni Sukrisdiono (45) warga Purwokerto, Ardi Nugroho (23) warga Cilacap, dan Bayu Cahyadi warga Banyumas. Ketiganya mengalami luka lebam di bagian wajah.
Dari keterangan yang dihimpun di lokasi, kejadian berlangsung sekitar pukul 11.00. Saat itu, terlihat dua mobil dan belasan sepeda motor masuk ke halaman padepokan yang beralamat di Dusun Bendungan, Desa Sidoagung, Kecamatan Godean, Sleman.
"Puluhan orang tiba-tiba datang. Mereka pakai baju hitam bertuliskan FAKI," ungkap Koster Kapel Santi Dharma, Madya Saputra.
Sebagian dari anggota kelompok itu masuk ke dalam padepokan, sedang lainnya berada diluar. Setiba di dalam, mereka memaksa agar acara dibubarkan.
"Saya tidak berani mendekat, cuma melihat dari jauh. Tapi saya lihat satu orang dianiaya di halaman," katanya.
Sewaktu kejadian, di sekitar padepokan terlihat beberapa anggota polisi. Satu unit mobil ambulans juga sudah disiapkan di lokasi. Romo Paroki Klepu, Florentinus Hartanto Pr membenarkan, acara tersebut adalah ramah tamah keluarga dan anak-anak eks tapol 1965.
"Beberapa hari lalu ada orang yang telpon saya bilang ingin menyewa padepokan. Keperluannya untuk arisan dan ramah tamah dengan peserta sekitar 30 orang," katanya.
Panitia acara berniat menyewa padepokan selama dua hari, Minggu dan Senin (27-28/10). Namun belum sampai selesai, acara sudah dibubarkan.
Take a wild guess, siapa ya yang ciri-cirinya begini?
- Agresif dan militan
- Biasanya sangat nasionalis
- Sangat membenci komunisme dan komunis
- Tapi tidak keberatan, bahkan sangat menganjurkan salah satu ajaran komunis yang sangat penting, yaitu penguasaan faktor produksi dan pembatasan ekonomi oleh negara
Coba dibandingkan dengan kutipan ini.
The keystone of the Fascist doctrine is its conception of the State, of its essence, its functions, and its aims. For Fascism the State is absolute, individuals and groups relative.
Fascism should be more appropriately called Corporatism because it is a merger of state and corporate power.
~Benito Mussolini
People really do not learn from history.
Indonesia memang negeri dongeng. Jutaan orang yang mengecap bangku sekolah di sini disuapi dongeng tentang kekayaan bumi, tanah dan airnya. Mereka jadi percaya bahwa semua kekayaan itu sudah ada; tinggal menunggu seorang pemimpin adil yang bisa membagi-bagi kekayaan itu dan membuat semua orang makmur sejahtera.
Mereka lupa mengajarkan bahwa kekayaan alam atau nonalam seperti apa pun berharganya harus dicari, diolah dan dimanfaatkan dalam kegiatan ekonomi agar ada nilainya. Mereka lupa mengajarkan bahwa tidak mungkin kekayaan bisa dimiliki secara kolektif oleh ‘seluruh’ rakyat, karena siapa pun yang berjasa mencari, mengolah dan memanfaatkan kekayaan tersebut pasti lebih berhak untuk menikmati hasil kerja mereka, dan mereka harus bisa menikmati hasil kerja mereka tanpa khawatir kehilangan hak itu.
Dongeng seperti itu juga yang mendorong serikat buruh seperti tak pernah puas memaksakan tuntutannya. Di pikiran mereka pengusaha punya kekayaan tak terbatas dan selalu bisa membayar upah lebih besar lagi kalau saja dipaksa oleh regulasi. Di pikiran mereka kalau mereka mendapat upah layak, semua orang akan makmur dan sejahtera.
Mereka lupa mengajarkan para pengurus serikat buruh di sekolah bahwa upah sama dengan harga, dan harga selalu tunduk pada hukum permintaan dan penawaran. Mereka lupa mengajarkan (atau sengaja melupakan) bahwa upah minimum sama dengan price floor, dan konsekuensi dari price floor yang lebih tinggi daripada harga ekuilibrium adalah adanya surplus pasokan pekerja. Dengan kata lain, memaksa upah minimum naik sama saja dengan melarang orang yang produktivitas marjinalnya di bawah tingkat upah minimum itu bekerja. Dengan kata lain lagi, memaksa upah minimum naik sama dengan memaksa orang menganggur.
Makin parah lagi, dunia dongeng yang diinginkan serikat buruh itu seolah dapat justifikasi dari pemimpin lembaga yang sedang naik pamornya. Di acara serikat buruh hari ini, ketua KPK bilang seperti ini.
Ketua KPK Abraham Samad mengatakan salah satu penyebab kemiskinan adalah korupsi. Menurut perhitungannya, jika tidak ada korupsi, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia mencapai puluhan juta rupiah per bulan.
Dari sektor migas saja, menurutnya hampir 50% perusahan tambang di Indonesia itu tidak membayar royalti ke pemerintah. Angka tersebut jika dirupiahkan mencapai Rp 20 ribu triliun.
“Coba dibagi dengan 241 juta jiwa. Maka kita akan menemukan angka pendapatan terendah adalah Rp 30 juta per bulan,” kata Abraham Samad dalam dialog kebangsaan di depan puluhan ribu buruh di Istora, Senayan, Jakarta, Senin (21/10/2013).
Pertama, yang dimaksud “pendapatan per kapita masyarakat Indonesia” oleh beliau itu sepertinya “produk domestik bruto per kapita ekonomi Indonesia”.
Menurut BPS, PDB total Indonesia secara nominal harga tahun 2012 adalah sekitar Rp8 ribu triliun, atau per kapitanya Rp33.3 juta per tahun. Itu sekitar Rp2,7 juta per bulan. Menurut beliau, seharusnya PDB per kapita Indonesia itu Rp30 juta per bulan, atau Rp360 juta per tahun. Sedikit koreksi pak, kalau dikalikan 241 juta populasi Indonesia, itu PDB totalnya bukan Rp20 ribu triliun, tapi sekitar 87 ribu triliun! Wah ke mana hilangnya yang Rp79 ribu triliun?
Nah, itu. Menurut beliau itu karena hampir 50% perusahaan tambang di Indonesia tidak membayar royalti ke pemerintah. Waduh, kenapa bisa begitu? Beliau lanjut begini.
Ironisnya menurut Samad, para pengusaha itu bukan tanpa alasan tidak membayar royalti ke pemerintah. Mereka justru menghabiskan uangnya lebih banyak untuk menyuap oknum aparat.
Pusing saya. Jadi menurut beliau nilai ekonomi yang jauh lebih besar daripada nilai produksi seluruh ekonomi Indonesia itu bisa hilang begitu saja karena dipakai untuk membayar aparat dan pejabat korup.
Hore! Logika hebat!
Begini. Royalti itu, kalau pun tidak dibayarkan ke pemerintah, tidak lenyap begitu saja, apalagi nilainya sedahsyat itu. Kalau pun uang itu dibayarkan ke aparat dan pejabat korup, pertama, kegiatan ekonomi yang menyebabkan ada royalti yang harus dibayar itu tetap akan menghasilkan nilai ekonomi. Kedua, aparat atau pejabat korup itu pun akan melakukan kegiatan ekonomi dengan uang haram yang didapat. Apa iya mereka semua kompak menyimpan berbundel-bundel uang kertas di rumah masing-masing sehingga sama sekali tidak ada jejak ekonominya? Menyimpan uangnya di bank pun akan tercatat sebagai kegiatan ekonomi, pak, apa lagi ‘mencuci uang’ dengan membeli aset. Uang yang masuk ke bank juga akan menghasilkan laba bagi bank atau dipinjamkan ke pihak lain sehingga menghasilkan laba juga bagi pihak lain. Uang yang dipakai membeli aset menghasilkan laba bagi penjual aset, menciptakan lapangan kerja juga.
Jadi nggak mungkin hilang tanpa jejak ekonominya sama sekali.
Yang paling parah menurut saya adalah pandangan bahwa pendapatan, dus kesejahteraan masyarakat, yang terdiri dari individu-individu dengan pribadi, minat, keahlian berbeda-beda, semuanya ditentukan oleh negara atau pemerintah belaka.
Kalau begini, kata serikat buruh, untuk apa mereka menuntut upah minimum naik jadi Rp4 atau 5 juta saja? Batasnya langit!
Berabad-abad sejarah sebagai bangsa yang tidak mandiri memang sulit dilepaskan dari psyche kolektif masyarakat. Dalam kesadaran mereka, nasib dan masa depan mereka ditentukan oleh pemimpinnya, bukan hasil kerja mereka sendiri.
Pesan dari video di atas ini menyiratkan perspektif tersebut. Saat ini, nama Jokowi sepertinya memang sudah jadi jaminan laku. Bila menyimak komentar sebagian orang, seolah-olah kalau Jokowi jadi presiden Indonesia pasti akan makmur, maju dan adil seperti di surga. Rasa-rasanya tidak mungkin PDIP akan menyia-nyiakan aset politik seperti itu di pemilu tahun depan.
Pengunggah video berpesan begini.
Sejarah Republik terulang kembali….Ir Soekarno hrs diculik dan dipaksa pr pemuda yang mewakili daerah2 di Indonesia agar beliau mau memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia….
Padahal semua orang sudah tahu kelanjutan cerita itu. Si bung yang juga senang disebut Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi itu jatuh cinta kepada dirinya sendiri. Ia anggap jutaan rakyatnya sebagai harta kekayaan pribadinya belaka, bukan sebagai individu yang merdeka. Ia cetak uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai kepuasan pribadi dan proyek-proyek mercu suarnya hingga uang itu tak lagi berharga. Semakin ia pandang pintar dirinya sendiri, semakin ia anggap bodoh jutaan rakyatnya, hingga tak ada jalan lain, harus ia atur semua hal sekecil-kecilnya dengan ‘demokrasi terpimpin’.
Satu hal yang mestinya diingat dari sejarah itu adalah kecintaan berlebihan pada figur seorang pemimpin adalah salah satu jalan menuju jurang kesahayaan, atau road to serfdom menurut Hayek. Cinta memang membutakan. Yang dicinta tak lagi terlihat celanya sejauh apa pun ia berubah.